Minggu, 18 Maret 2012

The Rug Merchant

"Ketika kesepian begitu mendera, cinta adalah satu - satunya penawar."


Ushman hanya memiliki satu impian: membawa Farak, istrinya, pergi meninggalkan Tabriz, kampung halaman mereka. Ia bahkan telah menyiapkan segalanya: rumah, kehidupan yang jauh lebih baik dan berbagai kejutan. Harapan itu membuat terus bertahan ditengah kesepian dan kesendirian di New York. Akan tetapi, Farak justru meninggalkannya. Seketika semua impian Ushman hancur berantakan.

Di tengah harapan yang semakin meranggas, Ushman bertemu dengan Stella, seorang gadis Amerika. Cinta pun hadir di antara mereka. Apa sulitnya mencintai Stella? Ia cantik, cerdas dan menarik. Hidup Ushman yang selalu diwarnai kemuraman mulai mencerah. Namun, benarkah demikian? Mampukah Ushman melupakan semua kenangannya akan Farak? Mampukah cinta mereka mengatasi perbedaan ras, agama, dan budaya?

The Rug Merchant, sebuah novel yang tak sekedar mengajak kita menyelami kesepian dan ksedihan dalam diri manusia. Lebih dari itu, kita akan menemukan bahwa selalu ada kegembiraan di dalam dunia yang penuh tragedi.

Itulah sinopsis yang ada di belakang buku ini dan membuatku tertarik buat membacanya. Buku yang ditulis oleh Meg Mullins ini berlatar belakang kota New York yang ditinggali Ushman, seorang imigran asal Iran yang mencoba mencari peruntungan di negeri orang. Kepribadian Ushman digambarkan begitu kompleks. Perasaan inferior, tekanan untuk membahagiakan keluarga, hingga proses pencarian identitas yang tak kunjung berakhir.

Meg Mullins mensketsa kehidupan Ushman sebagai seorang perantau asing di negeri adidaya hingga akhirnya ia terjebak dalam kenangan-kenangan yang mengakibatkan hidupnya terbungkus rasa kalut.

Perasaan terasing ini tak berubah meskipun usaha permadaninya membuahkan hasil yang signifikan. Apa sebab? Selama masa perantauan, Ushman meninggalkan istrinya yang bernama Farak di kampung halamannya, Tabriz. Ushman sebenarnya tak rela meninggalkan Farak. Namun lima kali keguguran yang dialami Farak membuat ia menyarankan Ushman untuk merantau mencari penghidupan yang lebih baik. Ushman pun menurut. Tanpa ia sadari, itu sebuah proses perpisahan yang menyakitkan.

Tiga tahun lamanya Ushman merantau dan membesarkan usaha permadaninya. Ia begitu merindukan istrinya. Hingga pada suatu malam ia menelepon Farak, dan mendapati pengakuan pahit dari mulut istrinya tersebut. Dan Ushman semakin jatuh dalam keterasingan yang teramat sangat.

Stella pun datang. Ia berambut pirang, berkulit halus, dengan semangat membara. Hanya Tuhan yang tahu mengapa Stella datang di saat Ushman berada dalam masa kehilangan. Dan siapa sangka, perbedaan budaya tak menghalangi mereka untuk saling jatuh cinta. Hingga akhirnya sebuah konklusi harus ditetapkan.

The Rug Merchant, ditulis dengan keteraturan. Buku ini menggambarkan sebuah anekdot dalam keluarga. Seakan kita sedang membaca diri sendiri di dalamnya. Rasa kehilangan, rasa takut, rasa terasing-- seperti genangan darah di atas karpet, bisa dihilangkan namun masih tercium anyirnya.

Aku jatuh cinta pada tokoh Ushman. Ideologi yang dimilikinya mengguratkan alasan-alasan yang memang pantas untuk dicerna. Dan kisah Ushman adalah intisari yang paripurna dengan bercerita pada kita semua, makna kemunafikan, pengkhianatan, hingga cinta yang tak mengenal batasan.

Konklusi dangkal dari buku ini adalah ternyata akhwat bercadar pun belum tentu bisa menjaga kehormatan dan mengerti makna integralitas kesetiaan.

Kamis, 01 Maret 2012

Ga Bisa Update Lagi

Maaf semuanya.. Aku ga bisa update lagi. Aku sibuk sama UN dan beberapa persiapannya. Untuk mencapai kelulusan aku harus dapat melewati standar rata-rata 6,00. Nilai tersebut akan diramu dari perbandingan 60% nilai ujian nasional dan 40% nilai ujian sekolah. Tapi ga seperti pada dua tahun yang lalu. Kelulusan siswa hanya ditentukan oleh ujian nasional aja.
Untuk mencapai kelulusan itu, aku harus belajar mengulangi seluruh mata pelajaran. Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA. Aku mesti membahas habis materi pelajaran kembali. Jadi aku sibuk banget, sorry..

Selasa, 27 Desember 2011

Trust


Kita bicara Trust, berarti kita bicara apa yang dilakukan oleh semua remaja belasan (yang berarti aku) ketika kita mendapati bahwa dunia virtual itu 200 kali lipat lebih menyenangkan daripada dunia kenyataan.

Seriously, aku tahu rasanya jadi Annie (Liana Liberato). Tentunya sekitar 4 tahunan sudah mengenyam seluk beluk internet dan segala macam model sosialisasinya, aku pastilah pernah ngalamin apa yang dialamin semua remaja lainnya semisal chatting di Facebook, kenalan, dan gimana sampe akhirnya aku jadi tergila-gila, ketagihan, dan sebegitu gampangnya "jatuh" ke satu orang yang ga pernah kita tahu, bahkan lihat sekalipun. Aku punya banyaaaak banget temen virtual. Selain teori kalau orang yang punya banyak banget temen virtual itu biasanya ga populer disekolah, aku dan Annie sekali lagi ngebuktiin teori itu masih kekal adanya, setidaknya buat berapa tahun kedepan lagi.

Annie, menghabiskan waktunya untuk curhat sama satu temen chatnya bernama Charlie bahkan dia terlibat lebih jauh dengan menceritakan semua tentang dia melebihi apa yang diketahui semua keluarganya (Clive Owen dan Catherine Keener) dan semakin Annie tergila-gila pada sosok Charlie yang makin ga jelas dan seringkali berbohong tentang umurnya, maka kita tahu bahwa sesungguhnya Charlie ini jelas jelas seseorang dangerous stranger, dan siap siap, kehidupan harmonis keluarga Annie akan hancur secara instan.

Pola yang digunakan Trust untuk filmnya adalah langsung to the point alias menuju inti cerita tanpa harus membangun pelan-pelan semua unsur instrinsik didalamnya. Untungnya, meskipun Trust memutuskan buat langsung menuju point of the story nya dari sejak paruh pertama, tapi pembangunan karakter-karakter didalamnya tetap solid dan tetap punya taste, bahkan memegang emosi penonton secara larut. David Schwimmer memang ga menitikberatkan Trust menjadi sebuah melodrama penuh yang bertutur soal cerita korban Predator Internet dan perburuannya, tapi David lebih tertarik untuk menyoroti drama alamiah antara Annie, keluarganya, dan juga perkembangan psikologis diantaranya. Itulah kenapa meskipun sejak awal Trust sudah membangun tendensi ceritanya, tapi semakin mengalir alur cerita Trust bukannya membosankan malah semakin mengalir dan merebut emosi kita untuk melihat betapa messed up nya seorang asing berhasil menghancurkan batin sebuah keluarga sederhana baik-baik.


Dari segi akting, Liana Liberato bisa jadi yang berada paling atas, karena selain dialah pemegang kendali atas kekuatan separuh besar film ini, dia sendiri sangat pas dengan karakter remaja labil yang keras kepala, egois dan masih innocent. Adegan dimana dia membanting HP-nya dan bertengkar dengan Clive Owen adalah adegan yang sanggup membuat kita berkaca-kaca disini, menunjukkan betapa dengan mudahnya kehadiran seorang asing sanggup membuat Annie membantah dan membenci Ayahnya sendiri dan coba lihat ekspresi Clive Owen saat itu. Adegan itu cukup mengguncang psikologis dan mendeskripsikan secara miris, telah sejauh apa sudah keluarga ini dijauhkan.

Clive Owen sendiri, gak usah ditanyakan, dia berhasil mewakili jiwa dan batin terpukul seorang ayah yang "kehilangan" anak kesayangannya sendiri, bagaimana perkembangan chemistry ayah-anak yang mulai merapuh bisa dia dan Liana bawakan dengan sangat baik. Sisanya, Catherine Keener dan Viola Davis (sebagai psikolog Annie) meskipun performanya lebih minimalis ketimbang Clive dan Liana tapi mereka membawa sisi lain buat film ini, masing masing sisi melodramatis dari Keener, dan karakter kuat Viola Davis yang berhasil membuat psikologikal Annie lebih terbuka.

Aku tahu endingnya membuat kita jadi kesel. Tapi secara natural, David Schwimmer hanya ingin memperlihatkan kita (atau menonjok kita) bahwa dunia virtual bukan hanya 200 kali lipat lebih menyenangkan tapi juga bisa 200 kali lipat lebih "mengerikan".

Minggu, 25 Desember 2011

The Social Network


Jadi, sebenarnya, film ini hanya menunjukkan kepada kita bahwa mahakaryanya Mark Zuckerberg itu tercipta 'hanya' dari proyek patah hati dari diputusin sama mantannya. Bukan karena dia emang pengen bernafsu jadi perintis situs jaringan sosial. Bukan karena visi misi. Bukan karena mimpinya. Mark Zuckerberg (Jesse Eissenberg) malah orang yang ga peduli sama uang dan segalanya, beda banget kaya karakteristik maruknya Bill Gates VS Steve Jobbs di Pirates of Sillicon Valey, Mark di film ini digambarkan sebagai anak muda lainnya tanpa tujuan, setiap kerjaan dan apa yang dia perbuat berdasar spontanitas hati dan apa yang dia alamin, in fact adalah, Mark Zuckerberg is not specially special.
Dia tipikal geek kebanyakan. Cuek, egois, jenius, nyentrik, tipikal cowok sok pinter yang nyebelin, dan ga akan pernah masuk list sebagai cowok yang aku suka.
Untunglah dia punya teman yang baik, Eduardo Saverin, a humble dude with super friendly personality yang selalu setia, mendukung dan mau mengikuti semua tingkah-tingkahnya Mark yang ngalor-ngidul ini. Yes, mereka emang akrab sekali. Sampe-sampe kayanya The Social Network versi Brokeback Mountain juga pasti ide yang seru abis.

Jadi apa yang ingin disorot David Fincher disini bukan soal ego Mark Zuckerberg. Film ini bukan soal ego. Kalau Pirates Siliccon Of Valley memperlihatkan dengan jelas kalau ego itu bisa bikin kita merebut dan melakukan apa saja untuk bersaing dan menang, The Social Network lebih ke pandangan spesifik soal "konsekuensi dari persaingan dan kemenangan" itu.
Ya setidaknya Mark Zuckerberg tidak se'jahat' Bill Gates VS Steve Jobbs yang memang penuh persaingan, Mark bahkan tidak ingin apapun, baik kesuksesan, kepopuleran atau uang. Mark hanya seseorang yang melampiaskan perasaannya (dalam hal ini, diputusin) jadi sebuah ide yang dimana itu bisa membuat nenek-nenek berumur 103 tahun bisa punya akun Facebook.


Sebenarnya aku ga pernah terlalu suka sama film yang secara status terlalu overrated seperti film ini. Tapi terlepas dari status film ini yang sudah diomongin banyak orang dan posisinya di kancah Oscar, aku salah satu yang suka dan tentu saja, sangat apresiatif sama film ini.